Kajian hukum di bidang money landering, cybercrime dan lingkungan hidup.

Archive for Mei, 2014

Regulasi Tindak Pidana Pencucian Uang dalam RUU KUHP

Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana halnya juga tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, terorisme, dan tindak pidana tertentu lainnya seringkali disebut juga sebagai extra ordinary crime.

Selain itu kita juga mengenal istilah tindak pidana khusus. Kalangan akademisi umumnya mengenal tindak pidana khusus sebagai tindak pidana yang diatur di luar KUHP, sedangkan kalangan praktisi atau penegak hukum umumnya memandang tindak pidana khusus sebagai tindak pidana yang hukum acaranya diatur khusus menyimpangi aturan-aturan yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).

Munculnya beberapa keberatan terhadap pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP antara lain disebabkan adanya kekhawatiran bahwa dengan diabsorbsinya delik-delik di luar KUHP ke dalam RUU KUHP akan menghilangkan sifat kekhususan dari tindak pidana tersebut sehingga dianggap sama dengan tindak pidana umumnya, yaitu sebagai ordinary crime.

Jika alur berpikir kalangan yang berkeberatan terhadap RUU KUHP adalah demikian, maka dapat saja disimpulkan bahwa delik-delik di luar KUHP diatur secara khusus karena dianggap sebagai extra ordinary crime.

Menarik untuk disimak, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan extra ordinary crime. Apakah sifat luar biasanya kejahatan dilihat dari dimana kejahatan tersebut diatur ataukah dilihat dari tipology kejahatan itu sendiri sehingga harus ditangani pula secara luar biasa. Jika jawabannya ada pada hal yang terakhir, maka bukanlah persoalan mendasar dimana aturan delik suatu tindak pidana yang bersifat “extra ordinary crime” diatur, apakah di luar atau di dalam KUHP. Suatu kejahatan dikategorikan sebagai extra ordinary crime karena karakteristik, modus, atau tipologi kejahatan tersebut memiliki tingkat kerumitan atau dampak tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan tercermin dari hukum acara yang diatur secara khusus.

Pasal 763 RUU KUHP menyatakan bahwa pada saat undang-undang ini berlaku, undang-undang diluar undang-undang ini yang mengatur hukum acara yang menyimpangi undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan hukum acaranya tetap berlaku sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan undang-undang tentang Hukum Acara Pidana yang baru. Menarik untuk mengetahui mengapa penyusun undang-undang memuat ketentuan tentang pengakuan hukum acara khusus ini di dalam KUHP dan bukan di dalam KUHAP.

Jika diteliti bunyi pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang di dalam RUU KUHP, ditemukan beberapa kerancuan dalam memuat unsur-unsur pasal. Sebagai contoh, Pasal 747 RUU KUHP menyatakan bahwa Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berhargaatau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindakpidana pencucian uang dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asalusul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Kategori V.

Demikian pula Pasal 748 RUU KUHP yang menyatakan bahwa Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hakhak,atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana pencucian uang dipidana karena tindak pidanaPencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Kategori V.

Kedua pasal tersebut di atas akan menciptakan kebingungan bagi yang membacanya. Tindak pidana asal (predicate crime) pencucian uang dalam kedua pasal tersebut adalah tindak pidana pencucian uang juga. Hal ini tentunya menunjukkan adanya pemahaman yang keliru dari penyusun undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal.

 

LATAR BELAKANG PASAL 4 UU NOMOR 8 TAHUN 2010

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 lahir sebagai upaya untuk menjawab beberapa tantangan yang dihadapi dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang telah dilakukan paling tidak sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Salah satu perubahan yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 berkaitan dengan perumusan delik pencucian uang.

Rumusan delik pencucian uang yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dinilai oleh berbagai kalangan baik praktisi maupun akademisi sebagai salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang. Rumusan delik pencucian uang mengandung terlalu banyak unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan. Selain itu, rumusan tersebut juga terkesan banyak duplikasi yang akhirnya menimbulkan kesulitan dalam hal pembuktian.

Sebagai contoh, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang selain memuat unsur subyektif “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau diduganya berasal dari tindak pidana” masih ditambah lagi dengan mencantumkan unsur “dengan sengaja” secara eksplisit. Bahkan masing-masing unsur obyektif berupa perbuatan-perbuatan sebagaimana tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf g juga ditempel dengan unsur “yang diketahuinya atau diduganya berasal dari tindak pidana” sehingga terlihat menjadi tumpang tindih.

Dari aspek standar internasional, Model Anti Money Laundering Law yang dikeluarkan oleh United Nations menyarankan bahwa perbuatan berupa menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, peralihan, atau kepemilikan atas Harta Kekayaan (“The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement or ownership of property”) oleh seseorang yang mengetahui atau patut menduga (by any person who knows [variant: who suspects] [variant: who should have known) bahwa Harta Kekayaan tersebut berasal dari hasil kejahatan (that such property constitutes proceeds of crime as defined herein) harus dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana pencucian uang. Rumusan tersebut harus dimaknai bahwa perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, peralihan, atau kepemilikan atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan tersebut tidak mempermasalahkan apakah pelakunya sebagai pemilik atau yang menguasai Harta Kekayaan tersebut, alih-alih sebagai pelaku tindak pidana asal (predicate crime). Fokusnya adalah bahwa pelaku telah memenuhi dua unsur, yaitu pertama unsur menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, peralihan, atau kepemilikan atas Harta Kekayaan dan kedua Harta Kekayaan tersebut diketahuinya atau patut diduganya berasal dari hasil kejahatan.

Dari aspek tipologi pencucian uang, ditemukan bahwa upaya melakukan pencucian uang sudah dilakukan dengan cara yang sangat terencana dan terorganisir. Pencucian uang seringkali melibatkan profesi-profesi tertentu yang mengambil peran sebagai “gate keeper”.

Gatekeeper adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan seorang profesional di bidang keuangan atau hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem finansial global yang jasanya digunakan untuk menyembunyikan aset milik kliennya. Kemampuan profesional ini seringkali dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyembunyikan kepemilikan sesungguhnya atas harta kekayaan illegal.

FATF secara singkat mendefenisikan gatekeeper sebagai ‘usaha dan profesi non-keuangan’, yang mencakup pengacara, notaris, agen areal estat, trusts, kasino, akuntan, dan profesi hukum independen lainnya yang bertindak sebagai pihak ketiga yang terpercaya.

Profesional, seperti halnya pengacara– yang berperan sebagai gatekeeper sering memanfaatkan ketentuan tentang hak kerahasiaan yang diberikan oleh peraturan perundang-undang dan kode etik profesi antara pengacara dan klien sebagai alat dalam skema pencucian uang.[1] Pengacara dapat menggunakan aturan atau hak istimewa tersebut untuk membentengi diri dari berbagai peraturan mengenai pengungkapan informasi pada berbagai lembaga keuangan, termasuk peraturan tentang Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) atau bisa dikenal dengan Know Your Customer (KYC). Hal ini memungkinkan pengacara untuk terlibat dalam berbagai kegiatan atas nama klien mereka secara anonim, termasuk mendirikan perusahaan fiktif, membeli properti, membuka rekening bank, dan mentransfer aset untuk dan atas nama klien mereka dengan pihak terkait atau perantara. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa gatekeeper, terutama pengacara, ingin terlibat dalam pencucian uang? Termotivasi oleh keserakahan, pengakuan, atau kekuasaan dan didorong oleh sifat perusahaan yang selalu mencari keuntungan lebih adalah alasan bagi mereka untuk terlibat.[2]

Pada tahun 2001, FATF menyebutkan bahwa pengacara berpotensi sebagai “gatekeeper” untuk pencucian uang dan pendanaan teroris disebabkan begitu beragamnya jasa yang dapat mereka berikan kepada klien. Dalam Laporan FATF tentang Tipologi Tindak Pidana Pencucian Uang 2000-2001, FATF menyatakan bahwa pengacara rentan terhadap skema pencucian uang yang kompleks karena kemampuan yang memungkinkan mereka secara fleksibel bergerak antara memberi nasihat tentang masalah keuangan dan fiskal, membangun kepercayaan dan entitas perusahaan dan menyelesaikan properti dan transaksi keuangan lainnya, seperti investasi.

Gatekeeper telah menjadi ancaman yang lebih besar bagi pencucian uang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Profesi akuntan, pengacara, dan perusahaan penyedia jasa terlibat baik dalam pencucian uang maupun sebagai pihak ketiga dalam pencucian uang. FATF menganggap Politically Exposed Persons (“PEP”) sebagai gate keeper karena mereka memiliki akses terhadap keuangan dan sistem di negara mereka yang memungkinkan mereka melakukan manipulasi untuk keuntungan pribadi, dan karena mereka memiliki kekuatan untuk mengubah undang-undang atau regulasi keuangan untuk keuntungan mereka sendiri. Orang-orang ini sering terlibat dalam pencucian uang atas harta kekayaan negara yang telah mereka curi.[3]

Perusahaan penyedia jasa Trust bertanggung jawab atas begitu kompleknya permasalahan pada trust yang terdaftar di yurisdiksi-yurisdiksi lepas pantai seperti Kepulauan Cayman, British Virgin Islands, Kepulauan Cook, Guernsey, dan Jersey, di mana untuk bias mengetahui beneficial owner dari sebuah vehicle company itu sangat sulit, jika tidak bisa dikatakan mustahil. Banyak trust dan perusahaan investasi swasta (“PICs”) yang dibentuk di beberapa yurisdiksi berhasil digunakan untuk menggelapkan atau menghindari pajak. Perusahaan Trust berfungsi sebagai pemilik aset yang sebenarnya, dan wali amanat mengendalikan investasi mereka, sehingga antara pelaku tindak pidana dan harta kekayaan hasil kejahatannya menjadi terpisah dan sulit ditembus oleh penegak hukum. Profesional yang menjadi “Gatekeeper” melindungi kepentingan klien mereka atas aset dan menyembunyikan keterlibatan mereka sendiri di belakang profesi mereka melalui perlindungan kerahasiaan klien.

Oleh karena itu, setelah working group yang dibentuk oleh FATF berhasil mengidentifikasi beberapa kelompok profesi yang telah menjalankan perannya sebagai “gatekeeper” (termasuk pengacara dan akuntan), maka pada tanggal 31 Mei 2002, FATF menerbitkan consultation paper berjudul “Review terhadap 40 Rekomendasi FATF” di mana FATF menemukan beberapa hal yang memungkinkan untuk dilakukan perubahan dalam kerangka anti pencucian uang. Ruang lingkup pembahasan meliputi masalah CDD dan STR, beneficial owner dan pengawasan terhadap perusahaan, dan penerapan kewajiban AML untuk DNFBPs, termasuk profesi hukum.

Dari perspektif struktural, gatekeeper merupakan sarana untuk melakukan kejahatan keuangan dan pencucian uang. Tanpa bantuan mereka, pejabat korup dan penjahat tidak akan mampu menyalahgunakan lembaga keuangan untuk kegiatan penipuan. Hal ini juga cukup beralasan dari perspektif utilitarian bahwa lembaga-lembaga keuangan itu sendiri berfungsi sebagai mekanisme yang digunakan dalam melakukan kejahatan keuangan.[4] Namun dalam praktiknya, bank tanpa gatekeeper yang korup di dalamnya, mereka sebenarnya merupakan lembaga yang taat hukum, sedangkan gatekeeper dan ahli keuangan masih bisa mencari keuntungan dari berbagai kejahatan yang ada tanpa adanya lembaga perbankan modern. Dengan memahami hubungan kedua elemen ini, kita dapat mempelajari hubungan antara hal-hal yang murni keuangan dan hubungan yang didasari oleh itikad jahat yang dilakukan oleh gatekeeper.[5]

Perbuatan gatekeeper menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, peralihan, atau kepemilikan atas harta kekayaan tentunya sangat bertentangan dengan semangat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; terlebih lagi apabila gatekeeper tersebut terbukti mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa harta kliennya tersebut berasal dari tindak pidana. Oleh karena itu, sangat tepat apabila perbuatan demikian dapat dihukum secara pidana dengan melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.

Rumusan Delik Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010

Jika dalam undang-undang sebelumnya secara umum kita dapat membedakan ada dua delik pencucian uang, yaitu pencucian uang aktif sebagaimana diatur dan diancam dengan Pasal 3 dan delik pencucian pasif sebagaimana diatur dan diancam dengan Pasal 6, maka dalam undang-undang yang baru kita temukan bahwa selain kedua macam delik tersebut kita juga menemukan satu delik lain sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 4 dengan rumusan sebagai berikut:

“Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 ini merupakan penyesuaian dari Model Anti Money Laundering Law yang dikeluarkan oleh United Nations sekaligus merupakan jawaban atas tantangan yang muncul dalam pratik gatekeeper yang sering menjadi fasilitator bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan praktik pencucian uang.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa dengan bentuk rumusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 maka delik ini harus dimaknai bahwa perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, peralihan, atau kepemilikan atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil kejahatan tersebut tidak mempermasalahkan apakah pelakunya sebagai pemilik atau yang menguasai Harta Kekayaan tersebut, alih-alih sebagai pelaku tindak pidana asal (predicate crime). Fokusnya adalah bahwa pelaku telah memenuhi dua unsur, yaitu: pertama, unsur menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, peralihan, atau kepemilikan atas Harta Kekayaan; dan kedua, Harta Kekayaan tersebut diketahuinya atau patut diduganya berasal dari hasil kejahatan.

Unsur “menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan” merupakan unsur obyektif yang dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan profesinya seperti misalnya:

–          Pernyataan Notaris dalam akta tentang adanya dua belah pihak yang menghadap kepadanya untuk melakukan suatu jual beli, padahal dari berbagai bukti yang berhasil diperoleh diketahui bahwa faktanya Notaris tidak pernah bertemu dengan kedua belah pihak atau salah seorang dari pihak-pihak tersebut.

–          Akuntan mencatat dalam catatan Keuangan pengeluaran berupa pembelian suatu barang yang sebenarnya barang itu tidak ada atau jumlahnya tidak sebesar yang dicatatkan dan seluruh atau sebagian dari pengeluaran itu faktanya dipergunakan untuk melakukan tindak pidana penyuapan.

–          Pengacara membantu kliennya untuk membuka rekening-rekening atas nama orang lain atau mendirikan perusahaan kedok (shell company) agar dapat melakukan berbagai skema transaksi yang sebenarnya secara tersembunyi dilakukan untuk kepentingan kliennya.

Unsur ‘Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya berasal dari tindak pidana” merupakan unsur subyektif yang dapat dilihat dari fakta-fakta hukum sebelum (ante factum) atau fakta-fakta hukum sesudah (post factum) tindak-tindakan menyembunyikan atau menyamarkan tersebut di atas dilakukan oleh profesi yang bersangkutan, misalnya:

–          Notaris mengetahui bahwa yang menjadi pihak pembeli dalam jual beli rumah adalah sopir dari klien yang datang kepadanya untuk dibuatkan akta jual beli tersebut. Notaris juga dibayar oleh klien tersebut dan menyerahkan akta jual beli kepada klien tersebut, sedangkan pihak yang menjadi pembeli tidak banyak mengetahui selain hanya diperintah untuk menandatangani akta jual beli.

–          Akuntan sebelumnya diperintahkan oleh klien atau pemilik perusahaan untuk melakukan pencatatan palsu atas pengeluaran uang perusahaan dan atas pencatatan palsu tersebut akuntan menerima “uang terima kasih” diluar dari honor atau gajinya sebagai akuntan, atau mendapatkan pembayaran jasa yang nilainya jauh lebih besar dari biasanya.

–          Pengacara mengetahui profile kliennya tidak cocok dengan jumlah harta kekayaan yang sedang dikelola. Pengacara mengetahui bahwa skema transaksi rumit yang dibuat pada akhirnya bermuara untuk kepentingan klien atau keluarga kliennya.

Unsur ‘Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya berasal dari tindak pidana” harus dipandang sebagai “pro pratus dolus pro partus culpa”, artinya perbuatan itu setengah sengaja setengah alpa. Dengan demikian, pelaku perbuatan tersebut tidak mesti benar-benar mengetahui bahwa harta kekayaan itu berasal dari tindak pidana, namun sebaliknya juga tidak bisa diterapkan teori culpa “kealpaan” serta merta untuk pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Menarik jika melihat bahwa pengertian “patut diduganya” tidak ada dimuat di dalam Pasal 4 melainkan justru baru ada dimuat pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.

Dengan bentuk rumusan delik yang sederhana di dalam Pasal 4 tersebut, maka seharusnya tidak ada lagi keraguan bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menerapkan ketentuan ini kepada setiap profesi yang menjalankan praktik sebagai fasilitator dalam perbuatan-perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

 

[1]Peter McNamee mendukung argumen ini dengan menyatakan bahwa hanya ada sedikit pengacara yang tanpa sadar terlibat dalam kegiatan pencucian uang. Neil Rose Making the case for appropriate anti-money laundering rules for lawyers (2009) 38 International Bar News. Lihat also Bell The Prosecutions of Lawyers (2003) 20.

[2] Peter Fleming dan Stelios C. Zyglidopoulos Charting Corporate Corruption: Agency, Structure, and Escalation (2009) 11.

[3]http://www.fatf-gafi.org/dataoecd/48/10/45724350.pdf at p. 44.

[4] F.N. Baldwin, “Exposure of Financial Institutions to Criminal Liability,” dalam Journal of Financial Crime Vol. 13 No. 4 (2006): 387.

[5] Laporan kegiatan mencurigakan (SAR) dan laporan transaksi mata uang (CTR) adalah sarana yang digunakan bankir untuk memperbaiki kegiatan yang berpotensi ilegal. Namun, di banyak kasus bankir atau auditor pemerintah disuap atau dipaksa untuk tidak melakukan tindakan apapun. Lihat, Reuter, dan Truman, Chasing Dirty Money, 34.